Selasa, 19 Juli 2011

Patologi Birokrasi

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Patologi Birokrasi

1. A. Pengertian
Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.[1]

1. B. Jenis-Jenis Patologi Birokrasi
Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu[2]:
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
  2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.






2. Analisis Terhadap Kasus

Dari kasus dari kliping yang ada, dapat dilihat bahwa hal tersebut juga menunjukkan adanya patologi dalam birokrasi khususnya di daerah DKI Jakarta. Dari penjabaran jenis-jenis patologi yang ada maka apa yang terjadi dalam kasus dapat dilakukan analisis sebagai         berikut:

  1. terkait beberapa isu penyakit di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di DKI Jakarta dapat dilihat beberapa diantaranya masuk dalam kategori patologi birokrasi Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Misalnya dalam hal penyakit “Kudis ( Kurang Disiplin)”, dan “Ginjal ( Gaji Ingin Naik Tapi Kinerja Lamban)”, dari kedua penyakit tersebut terlihat bahwa salah satu masalahnya adalah pada kredibilitas terhadap kinerja yang rendah.

Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dimana dijelaskan dalam pasal 3 salah satu asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara adalah asas profesionalitas dan proporsionalitas yang dalam penjelasannya adalah asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sementara asas proporsionalitas adalah asas ynag mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara. [3]

Jika dilihat dari penyakit yang diidap tersebut maka jelas bahwa kedua asas ini tidak berjalan efektif dan tidak tepat sasaran sebagaimana tujuannya.

  1. Kemudian penyakit berikutnya antara lain “TBC (Tidak Bisa Komputer)” dan “Kram (Kurang Terampil)”, dalam hal ini keduanya dapat dikelompokkan menjadi jenis patologi akibat kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Tidak jauh berbeda dengan poin sebelumnya pada dasarnya penyakit ini menunjukkan lemahnya penerapan asas proporsionalitas dan profesionalitas. Khususnya untuk “TBC”, saya melihat hal ini cukup krusial dan ironis jika dihubungkan dengan jenis penyakit lainnya seperti “Flu ( Facebookan Melulu )”, jika penyelenggara Negara bias menggunakan fasilitas online seperti situs jejaring Facebook sementara disisi lain mereka kurang terampil dalam menggunakan computer tentunya akan sangat memprihatinkan. Era komputerisasi sudah lama berjalan dan penguasaan teknologi ini sudah sewajarnya menjadi keharusan yang dimiliki oleh para birokrat, tidak hanya bernilai sebagai poin tambahan dalam kualifikasi para birokrat akan tetapi perlu dilihat dengan tugas utama mereka sebagai pelayan masyarakat, jika penguasaan computer tidak dilakukan maka fungsi pelayanan masyarakat sudah tentu akan sangat terganggu mengingat  pelayanan masyarakat saat ini sebagian besar sudah berbasis komputerisasi.

Ketidakefektifan satu saja dari asas-asas umum penyelenggaraan negara akan memeberikan dampak yang signifikan dalam hal penjabaran fungsi pelayanan masyarakat. Selain itu sangat mungkin hal ini akan menjangkiti efektifitas asas-asas lainnya.[4]

  1. Solusi
Prefentif
Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah pelayanan masyarakat.
2.      Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan keterampilan teknologi seperti komputer.
3.      Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila perlu diberikan contoh nyata.

Kuratif
Dalam upaya pemecahan masalah dalam hal proses yang sedang berjalan, langkah-langkah kuratif antara lain:
1.      Reformasi birokrasi secara menyeluruh, terutama dalam hal ketaatan terhadap asas-asas penyelenggaraan negara yang baik.
2.      perlunya langkah-langkah represif, sebab selama ini segala bentuk patologi yang ada selalu berulang dan terus berlanjut dari generasi ke generasi.
3.      Para pimpinan birokrat perlu memeberi contoh yang baik, selain itu perlu didukung dengan upaya yang bersifat kompetitif ditambah dengan penghargaan terhadap prestasi kerja, dimana dengan upaya tersebut para birokrat semakin memperbaiki kualitas kerja mereka.
4.      Penyelenggaraan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan para birokrat.

 4. Kesimpulan
      Kesimpulan yang dapat ditarik dalam kasus dan analisis yang ada antara lain:
1.      Bahwa masih lemahnya penerapan terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik maupun Asas-Asas Penyelenggaraan Negara.
2.      Peningkatan pengawasan dan juga keadaran hukum terhadap kinerja birokrat khususnya di DKI  Jakarta merupakan hal yang mutlak dan mendesak.
3.      Peningkatan kemampuan, keterampilan, dan integritas para birokrat perlu terus dikaji ulang, tidak hanya ketika saat rekruitmen saja.




[1] Hand Out Kuliah Birokrasi dan Manajemen Negara
[2] Ibid.
[3] Pasal 3 butir ke-5 dan ke-6, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
[4] Prof. DR. Drs Astim R., S.H., M.H., Etika Pengawasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Disajikan dalam penyuluhan hukum yang diselenggarakan Lembaga Pemantau Tindak Pidana Korupsi Bandung, 30 Maret 2009.

1 komentar: