Senin, 18 Juli 2011

Diskriminasi Gender


  1. a. Diskriminasi Gender
Diskriminasi gender merujuk kepada bentuk ketidakadilan terhadap individu tertentu, dimana bentuknya seperti pelayanan (fasilitas) yang dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak karena karakteristik kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Menurut Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women (CEDAW) , article 1:
Diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita[1].

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender antara lain : pemarginalan posisi dan peran perempuan, subordinasi (wanita ada di bawah pria), stereotype-stereotipe, kekerasan dalam berbagai bentuk, dan beban ganda dalam rumah tangga.

Pada akhirnya akibat-akibat dari diskriminasi gender inilah yang bisa dikatakan menjadi maslah krusial dalam upaya untuk mencapai tujuan kesetaraan gebder antara pria dan wanita [2].

Contoh untuk bentuk dari diskriminasi gender misalnya dalam hal stereotipe, jika ada wanita yang menjadi perokok seringkali dianggap sebagai wanita nakal, tidak baik, bermasalah, dan lain-lain. Sedangkan pada pria, menjadi perokok justru dianggap sebagai salah satu bentuk maskulinitas, tanda kejantanan, dan bisa juga diartikan kebanggan dan harga diri[3]. Contoh lainnya misalnya dalam Perda-Perda dibeberapa daerah yang terlihat seringkali memojokkan secara sepihak kepada wanita.


b. Femminist Legal Theory (FLT)

Feminist Legal Theory, adalah teori tentang hukum yang berspektif pada perempuan, dalam artian tidak hanya dari sudut pandang laki-laki saja, tapi juga diperhitungkan apakah berlakunya hukum tersebut tidak sesuai dan cenderung merugikan perempuan[4]. Selain itu bisa juga diartikan bahwa pendekatan hukum berspektif perempuan terdiri dari analisa dan kritik terhadap peranan hukum dalam memajukan posisi perempuan dalam masyarakat yang patriarkis[5]

Ada dua komponen FLT yang utama yaitu [6]:
·         Eksploitasi dan kritik pada tataran teoretik terhadap interaksi antara hukum dan gender.
·         Penerapan analisis pada tataran praktis hukum (pidana, pornografi, kesehatan reproduksi), dan dengan tujuan reformasi hukum.

Contoh FLT adalah pada kasus penerapan Perda No.8 tahun 2005 tantang anti pelacuran oleh Pemerintah kota tangerang, dalam Perda tersebut terlihat diskriminasi terhadap wanita terutama dalam pemberlakuan jam malam bagi wanita. Ditinjau dengan FLT jelas ada permasalahan, misalnya apakah anti pelacuran hanya bisa dilakukan secara sepihak hanya dengan berlaku jam malam bagi wanita, bagaimana dengan pria? Kemudian dapat dilihat juga ada kekurangan misalnya tidak memperhitungkan kondisi-kondisi yang darurat misalnya bagi seorang wanita.

c. Affirmative Action
 Affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU[7].
Dalam UU No. 7 Tahun 1984 yang merupakan ratifikasi Convention on The Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan tegas pada pasal 4, yang menyebutkan: “Pengambilan oleh para negara peserta tindakan-tindakan khusus sementara yang ditujukan pada peningkatan persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak akan dianggap sebagai diskriminasi seperti yang didefinisikan dalam Konvensi apapun, tetapi dalam cara apa pun tidak dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini tidak akan dilanjutkan apabila tujuan-tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai” (ayat 1) .
Pada tahun 2000, dalam Amandemen ke-II UUD 1945, ketentuan tentang affirmative action diatur, yaitu dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan [8].
Affirmative action erat kaitannya dengan wanita dan hak politik, ini karena masih sulitnya atau kurangnya baik itu kesempatan maupun keinginan dari wanita untuk terjun ke dunia politik. Menurut saya ini menjadi penting terkait pada konsep-konsep dan permsalahan yang dialami oleh wanita itu sendiri, misalnya dalam perancangan suatu UU, bagaimana mungkin hak wanita terjamin jika tidak diperjuangkan oleh mereka sendiri melalui para wakilnya yang wanita tentunya.
Contoh nyata affirmative action adalah pada UU Pemilu tentang penerapan kuota 30 % untuk permpuan tujuan dari berlakunya aturan tersebut tentunya selain dari wujud affirmative action jug dalam upaya mencapai kesetaraan gender. Walaupun dalam implikasinya terutama setelah terjadi judicial review UU Pemilu sering dipermasalahkan mengecilnya peluang bagi wanita duduk di parlemen.
d. Bias Gender
Bias gender adalah kondisi dimana terdapat penyimpangan atau pembelokan arah dalam peran-peran antar prai dan wanita, ruang lingkupnya tersebar dalam berbagai persoalan mulai dari hal-hal sederhana hingga yang rumit, dari yang sering ditemui dan jarang ditemui[9].
Dalam konteks bias gender ini mayoritas permasalahan dialami oleh perempuan dalam pengertian terjadi pengeyampingan terhadp perlindungan hak dalam tataran kewajiban yang sama atau tidak jauh berbeda dengan pria. Faktor utama yang menjadi sebab adalah pandangan bahwa peran wanita terbatas karena pria dinilai lebih kompeten dan lebih mampu dalam banyak hal.
Contoh dari hal ini misalnya dalam kasus penerapan usia pensiun pramugari dan pramugara perempuan dari faktor usia, usia pensiun untuk pria lebih lama dibandingkan perempuan, dasar alasannya adalah pramugari dituntut untuk tampil menarik setiap saat, dalam usia tertentu hal ini tidak ditemui pada pramugari berusia sekitar 45 tahun ke atas. Sedangkan untuk pria tidak ditemukan faktor menarik sebagai alasan pensiun, tapi didasarkan pada usia produktif kerja yang sebenarnya sama saja bagi perempuan.

2.      a. Posisi Kasus
Kasus Kamera tersembunyi Budi han, diawali dari  mencuatnya rekaman video berisi adegen yang kebanyakan para artis tengah berganti pakaian dalam suatu ruangan (studio foto milik Budi Han), dari mulai yang sekedar mengganti pakaian bahkan sampai ada yang telanjang. Beberapa wanita tersebut dikenal berprofesi sebagai artis diantaranya Sarah Azhari, Rachel Maryam, Shanty, dan Femmy Permatasari[10]. Dalam berbagai laporan yang ada para wanita yang ada dalam video tersebut nampak tidak terganngu ketika melakukan adegan-adegan yang tak layak dipertontonkan tersebut. Dari sini timbul pertanyaan apakah hal tersebut dilakukan secara sadar atau tidak, dengan persetujuan mereka atau tidak, dan bagaimana sampai video tersebut akhirnya menjadi konsumsi khalayak.
Para wanita dalam video tersebut pada akhirnya bersama-sama melakukan bantahan bahwa pembuatan video tersebut dilakukan dengan sepengatahuan mereka, dan tanpa izin dari mereka, bahkan mereka juga berani disumpah atas pernyataan mereka tersebut. Dengan adanya bantahan tersebut maka setidaknya mulai ada titik terang bahwa pembuatan video tak senonoh tersebut dilakukan secara illegal (dalam arti tanpa ada persetujuan para pihak). Penelusuran kemudian dilakukan darimana sebenarnya video tersebut muncul dan beredar, berdasar keterangan para korban tersebut didapat suatu keyakinan bahwa video tersebut diambil beberapa tahun sebelumnya tepatnya sekitar tahun 1996 (kasus mencuat pada tahun 2003). Kemudian diketahui juga bahwa lokasi
pengambilan gambar dilakukan di studio foto milik Budi Han di daerah Tebet, Jakarta Selatan[11] .
Setelah dilakukan penyelidikan diketahui bahwa Budi Han memang mengakui bahwa dialah yang memasang sebuah kamera tersembunyi yang diletakkan di balik cermin du arah dalam kamar mandi studionya, walaupun pada awalnya sempat membantah dan mengatakan pemasangan kamera dilakukan tanpa sepengetahuannya. Dengan bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi termasuk para korban akhirnya Budi Han ditetapkan sebagai tersangka, selain itu juga ditetapkan tersangka lain yaitu Benny Gunardi Ginting, karyawan AIM Advertising. Ditambah dua karyawan Budi bernama Benhur Bangun Karjaya alias Beung dan Kodim bin Wahid. Berempat, kata Prasetyo, mereka mengaku memasang cermin dua arah di dinding kamar mandi. Kemudian ditetapkan juga tersangka lain sebagai pengedar mereka adalah Rudi Hartono, Nuso Susanto, dan Antonius Situmorang (penjual video di Glodok)[12].
Perjalanan kasus ini hingga berakhir dipersidangan memakan waktu sekitar dua bulan saja. Budi Han dan para pegawainya oleh Penyidik dijerat dengan pasal 282 KUHP dan UU Perfilman pasal 40. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa untuk kasus ini juga bisa didakwa dengan pasal 335 KUHP dan KUHPerdata tentang tuntutan ganti kerugian. Sebelum kasus ini disidangkan, para korban umumnya juga ditawari damai dengan iming-iming uang sebesar 50 juta rupiah. Dalam persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum Agnes Triani, mereka dijerat dengan dua dakwaan. Budi Han dan tiga karyawannya didakwa menyebarluaskan gambar yang melanggar kesusilaan dan kesopanan. Atas perbuatan itu para terdakwa dijerat dengan pasal 282 KUHP jo. pasal 55 KUHPdengan ancaman hukuman satu tahun tiga bulan penjara[13].
Pada akhirnya Budi Han sebagai tersangka utama oleh Majelis Hakim dijatuhi hukuman satu tahun penjara saja[14].
b. Tanggapan Masyarakat
Berbagai sikap dan tanggapan dilontarkan masyarakat ketika kasus ini mencuat tidak hanya ditujukan kepada para korban, tapi juga pihak-pihak lain seperti tersangka, Polisi, Jaksa, dan Hakim.
Untuk para korban sebenarnya ada dua tanggapan yang cona saya utarakan, tanggapan pertama tentunya adalah rasa simpati dan dukungan bagi para korban atas kejadian yang mereka alami, pada umunya hal ini diutarakan oleh para perempuan baik itu secara pribadi maupun yang tergabung dalam organisasi seperti LSM. Pendapat juga disampaikan oleh para praktisi hukum , yang umumnya memberikan masukan bagi para korban tentang langkah-langkah hukum apa yang sebaiknya dan sepatutnya diambil dalam menyelesaikan masalah ini.
Tanggapan kedua adalah tanggapan apatis bahkan cenderung menghakimi, tidak dalam bentuk lisan ataupun tulisan, tapi umumnya dalam bentuk tindakan-tindakan mereka. Misalnya saja pedagang VCD porno yang secara sengaja mencari-cari video tersebut, atau para konsumennya yang menkonsumsi video tersebut[15].Yang saya maksud disini adalah dari tindakan seperti memburu video tersebut untuk ditonton, hal ini bisa saja terjadi selain karena isi dari video tersebut tapi juga dari “pemainnya” yang artis. Selebihnya akan saya paparkan dalam bagian tanggapan saya.
Tanggapan saya :
Saya member tanggapan bahwa apa yang dilakukan dengan memeberikan dukungan oleh masyarakat kepada korban memang bisa dikatakan jalan yang terbaik, utamanya dalam hal dukungan moril. Bisa dipahami bahwa dukungan moril sangat penting, bagi korban tentunya ini sebagai sebuah obat karena dengan beredarnya video tersebut mereka seakan-akan hanya dijadikan sebagai obyek semata, bahwa tubuh mereka tidak lain hanya barang konsumsi. Kemudian terhadap tanggapan kedua saya perlu menambahkan bahwa penilaian bahwa perempuan hanya sebatas komoditi semakin menguat, contohnya saja ketika saya pada hari Senin tanggal 1 November 2010 kemarin bertanya pada beberapa orang (saya rasa tak perlu saya sebutkan namanya), saya bertanya apakah mereka tahu atau pernah mendengar kasus Budi Han, semuanya menjawab tidak tahu. Ketika saya menanyakan tahu kasus kamera tersembunyi Sarah Azhari, mayoritas menjawab tahu bahkan ada yang menambahkan kurang lebih videonya bagus. Disinilah saya melihat bahwa stereotip yang merendahkan para korban timbul.
Diskriminasi gender bagi saya dalam kasus ini sangat terasa dalam tanggapan masyarakat terutama yang sesuai tanggapan kedua, yaitu perendahan martabat perempuan sebagai obyek bukan sebagai subyek yang setara dengan semua manusia lainnya. Pemarginalan juga nampak dari sikap Budi Han yang sempat menawarkan uang damai, yang tentunya tidak melihat bahwa kasus ini jauh lebih mencoreng para korban disbanding dirinya sendiri. Setidaknya dari pertanyaan saya kepada beberapa orang di atas memang menunjukkan hal ini. Selain itu beban psikologis juga bisa sangat berat, karena bagaimanapun juga kasus ini menjadi aib yang takkan hilang.
Hukuman satu tahun kepada terdakwa takkan sebanding dengan “hukuman” batin para korban, terutama jika ada pertanyaan seputar kasus itu. Selain itu juga sebagaimana dijelaskan oleh Dunwoody bahwa pelecehan seksual membawa konsekuensi negatif dan detrimental effect (efek yang merusak) kredibilitas dan karier perempuan[16].

c. Tanggapan Penegak Hukum
Dari artikel yang saya dapatkan, umumnya respon terhadap kasus ini dari penegak hukum cukup bagus dalam kaitannya dengan waktu pengungkapan dan penyelesaian kasus ini. Akan tetapi perlu juga disinggung apakah penegak hukum sudah cukup berkeadilan dalam menerapkan hukum dalam kasus ini.
Sorotan utama terhadap penegak hukum umumnya ditujukan kepada pihak Jaksa dan Hakim.  Untuk Jaksa terutama kritik karena pengenaan pasal 282 KUHP dinilai terlalu dangkal dan kurang mengena, Prof. Harkristuti Harkrisnowo menyebutkan bahwa bisa saja dikenakan dakwaan dengan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenagkan, walaupun diakui beliau pasal ini cukup sulit pembuktiannya karena luasnya pemaknaan perbuatan tidak menyenagkan itu sendiri[17]. Akan tetapi saya berpandangan perlu juga diingat bahwa tidak ad salahnya pasal ini juga dimasukkan dalam dakwaan karena ada alasan kuat bahwa korban tentunya disadari profesinya sebagai artis dan imej “artis video porno” patut diperhitungkan sangat layak dianggap sebagai tindakan tidak menyenangkan.
Terhadap Hakim yang memvonis Budi Han dengan pidana satu tahun penjara juga saya nilai masih kurang tepat, pasalnya walaupun tindakan pelaku yang terbukti baru satu kasus ini saja tapi dampaknya sangat luas. Dampak luas ini tidak hanya dialami oleh korban saja tapi juga efek sosial yang bisa diperhitungkan, misalnya degredasi moral masyarakat yang berkelanjutan.
Saya melihat dalam hal ini memang tidak sepenuhnya penegak hukum bisa disalahkan atas pemidanaan para tersangka, yang terkesan terlalu ringan, masalah lain adalah lemahnya Perundang-undangan dan sulitnya penerapan azas diskresi bagi penegak hukum dalam mengambil suatu keputusan. Kesalahan dalam menerapkan azas diskresi ini bisa saja dikhawatirkan oleh penegak hukum sekalipun mereka meyakini bahwa tindakan ini seharusnya bisa divonis dengan lebih berat.

d. Negara dan Perlindungan Hukum
Terkait peran Negara dalam perlindungan hukum dalam kasus ini saya menilai masih sangat lemah atau kurang memadai. Salah satu alasannya adalah substansi dari Perundang-undangan dalam hal ini KUHP kurang memadai, hukuman atau sanksi dalam KUHP meupakan instrument strategis yang ditujukan sebagai efek penjeraan (deterrence effect), namun permasalahannya timbul ketika yang diatur hanya sebatas hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan, tanpa memasukkan hukukman minimal. Hal ini memberikan peluang munculnya vonis hakim yang bisa dikatakan serendah-rendahnya yang bisa diterima oleh pelaku kejahatan[18].
Hal ini ditambah lagi dengan substansi dari perundang-undangan itu sendiri yang masih bias gender, diskriminatif, dan cenderung apatis pada permasalahan-permasalahan yang dialami oleh para korban kejahatan. Rumusan perundang-undangan seringkali dan memang mayoritas mengenyampingkan aspek psikologis dan fakta-fakta sosial dari korban, dan umumnya dihadapi oleh perempuan. Masalah lainnya adalah hukum masih bersifat tidak antisipatif dengan fenomena sosial yang sedemikian cepat berubah[19].
Sebagai contoh dari kasus adalah penerapan pasal 282 sebagai dasar pemidanaan terhadap Budi Han, dalam pasal ini perumusan sanksi pidana maksimal hanya satu tahun enam bulan, dan kemudian bisa juga ditambahkan denda sebesar empat ribu lima ratus rupiah. Jika dilihat dari sisi keadilan apakah hal ini sudah adil? Jangankan dari pihak korban yang menyatakan selayaknya Budi Han dihukum mati, masyarakat terutama perempuan pun pasti akan dengan jelas melihat ketidakadilan dalam hal ini.
Peran Negara sebenarnya sangat vital dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan bahwa hukum umumnya masih bersifat tidak antisipatif dan tidak relevan dengan fenomena sosial yang berkembang. Dalam kasus ini terutama dalam hal penggunaan KUHP jelas sangat mencerminkan lemahnya Negara dalam memberikan perlindungan hukum, KUHP merupakan produk era kolonialisme yang berumur lebih dari seabad dan pada kenyataannya masih juga dipakai hingga hari ini. Bandingkan dengan perundang-undangan lainnya misalnya saja UU Kepailitan yang lebih muda usianya daripada KUHP, dalam kurun waktu hanya enam tahun (UU Kepailitan tahun 1998 dirubah dengan UU Kepailitan tahun 2004)  telah mengalami revisi. Padahal dalam kaitannya dengan penegakkan HAM dan intensitas penggunaan jelas KUHP lebih banyak, setiap hari penggunaan  KUHP dipersidangan bisa dilihat, tapi perkara-perkara kepailitan belum tentu bisa ditemui dengan mudah.
Dari pemaparan diatas saya menyimpulkan bahwa Negara masih sangat lemah dalam memberi perlindungan hukum kepada masyarakat, terutama perempuan.
Rekomendasi :
Perbaikan Produk Hukum :
·         Dalam kaitannya terhadap kesetaraan gender, perlu diihat dan tidak dapat dikesampingkan fakta-fakta bahwa produk hukum seringkali masih bias gender, sehingga perlu pengkajian dan penarikan nilai-nilai dan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Tidak hanya itu walaupun sulit untuk sampai pada tingkatan sempurna setidaknya perlu dinilai dan diprediksi perkembangan di masa depan, misalnya dengan melahirkan produk hukum bersifat seperti “Payung” yang mampu menjadi produk hukum yang antisipatif dan relevan.
·         Perlunya kajian lebih mendalam dengan Femminist Legal Theory, terhadap rancangan perundang-undangan dengan cara melibatkan para akademisi dan pihak-pihak lain yang kompeten, hal ini diperlukan untuk mencegah terjadianya bias gender dalam hukum.
·         Peningkatan peran serta perempuan dalam pembentukan produk hukum, dalam tataran keseimbangan dan kesetaraan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Misalnya dalam lembaga legislative perlu diingatkan khususnya bagi anggota permpuan selain terikat pada partai, mereka sebenarnya harus lebih memperjuangkan hak-hak perempuan itu sendiri.
Penegakan Hukum :
·         Dalam penegakan hukum perlu disadari bahwa seringkali ada diskriminasi terhadap perempuan yang semestinya harus dihilangkan. Dalam kasus-kasus pornografi misalnya seperti diungkapkan  Buzawa seringkali korban diintimidasi sebagai pihak yang juga bertanggungjawab (dalam member efek negatif ke masyarakat), dengan tujuan agar kasusnya dicabut atau dihentikan saja[20]. 
·         Perlunya lembaga pendampingan bagi korban, tujuannya selain untuk memberikan bantuan hukum juga untuk member bantuan moril, karena pada umumnya penderitaan psikologis justru bertambah ketika proses hukum berjalan karena adanya tekanan dan intimidasi banyak pihak.
·         Pengawasan terhadap proses hukum bagi korban oleh berbagai pihak baik dari pemerintah maupun secara independen, tujuannya agar penegak hukum bertugas sesuai ketentuan.
·         Peningkatan kesadaran akan pentingnya memposisikan diri oleh penegak hukum sebagai sahabat bagi para korban pornografi atau kasus pelecehan seksual lainnya, hal ini penting untuk menghindari perasaan termarginalkannya korban juga penumbuhkembangan rasa percaya masyarakat kepada penegak hukum.




















Daftar Pustaka

Buku
Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2007.


Peraturan
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Internet
Apa sesungguhnya substansi kuota 30%, <http://www.institutperempuan.or.id/?p=17>, 1 November 2010.

Artis Korban VCD Porno: Akan Saya Habisi Harta Budi Han, <http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=2447>, 1 November 2010

Budi Han Mengaku Sebagai Pelaku, <http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=5935>, 1 November 2010.

Casting Artis Telanjang..Bikin Heboh, <http://berita.liputan6.com/progsus/200304/52538/class=>, 1 November 2010.

Gonibala, Rukmina “Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam”<,http://elearning.indosatschool.com/2010/07/04-rukmina-29-451.pdf >, 1 November 2010.




[1] Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women, article 1.
[2] Materi Kuliah Wanita dan Hukum.
[3] Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2007), hlm. 6.
[4] Materi kuliah Wanita dan Hukum.
[5] Sulistyowati Irianto, “Kriminal atau Korban (Studi tentang Perempuan dalam Kasus Narkotika Dari Perspektif Hukum Feminis”<,http://www.pemantauperadilan.com/opini/70-KRIMINAL%20ATAU%20KORBAN.pdf>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[6] Materi Kuliah Wanita dan Hukum.
[7]Apa sesungguhnya substansi kuota 30%”, <http://www.institutperempuan.or.id/?p=17>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[8] Ibid.
[9] Rukmina Gonibala, “Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam”<,http://elearning.indosatschool.com/2010/07/04-rukmina-29-451.pdf >, diakses pada tanggal 1 November 2010
[10] “ Casting Artis Telanjang..Bikin Heboh”, <http://berita.liputan6.com/progsus/200304/52538/class=>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[11] “Artis Korban VCD Porno: Akan Saya Habisi Harta Budi Han”, <http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=2447>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[12] “ Budi Han Mengaku Sebagai Pelaku”, <http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=5935>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[13] “Perekam Artis Ganti Baju Dituntut Satu Tahun Tiga Bulan”, <http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2003/09/29/brk,20030929-25,id.html>, diakses pada tanggal 1 November 2010.

[14] “Cuma Tuhan yang Bisa Membalas Budi Han"  , <http://showbiz.liputan6.com/berita/200310/219957/undefined/>, diakses pada tanggal 1 November 2010.


[15]Kamera Siluman Memangsa dari Balik Kaca”,< http://www.gatra.com/artikel.php?id=26825 >, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[16] Romany.,  op cit., hlm. 78-79.
[17]Menguji Pasal Keranjang Sampah”,< http://www.gatra.com/2003-08-20/artikel.php?id=30712>, diakses pada tanggal 1 November 2010.
[18] Romany., op cit.,hlm. 140.
[19] Ibid, hlm. 142.

[20] Ibid, hlm. 138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar