Selasa, 19 Juli 2011

kisah seorang wartawan

Hujan menyuguhkan fenomena menarik, jika kau lihat tetesan air yang jatuh dari ketinggian ribuan meter dan k au menengadahkan wajahmu ke atas kau akan lihat sesuatu yang menarik itu, karena seakan-akan kita melesat terbang menlewati butiran air hujan itu, di ujung sana sinar matahari menyembul-nyembul semarak seakan menjadigaris finish yang siap menyambut sang juaranya…


Manusia terkadang lupa bahwa mereka tidak ada artinya tanpa orang lainnya, kecuali bagi mereka yang super tentunya. Itu sebuah pemikiran yang terus kipertahankan hingga beberapa tahun lalu hingga akhirnya akua sadar manusisa super sekalipun bututh orang lain, orang lain yang mengakui kesuperan mereka, naïf.

Tapi itu hanya intermezzo karena semakin lama semakin kusadari itu benar dengan alas an lainnya, mereka butuh hati manusia biasa untuk mengimbangi cara hidup mereka. Aku bukan salah satu dari mereka, mereka adalah sepasang anak cucu adam dalam sebuah film bergenre hero dari negeri Paman Sam.

Selesai menonton film itu aku jadi sedikit mengerti mengapa banyak yang menggilai Amerika dulu, jargon kepahlawanan selalu menempati rangking pertama untuk menarik simpati semacam ini, korbannya masyarakat awam yang hanya haus hiburan tanpa mengolah apa yang akan mereka tonton.  Tapi biarlah asal bukan aku. Aku adalah oportunis sejati selalu berada di daerah abu-abu, seperti burung nazar yang hanya akan menunggu sisa makanan singa. Setidaknya aku punya sikap yang jelas, ya abu-abu itu.

Tapi mungkin karena sikapku itulah aku jadi manusia yang biasa saja, 22 tahun menganggur, tak berduit, membujang, dan tak ada impian ke depan. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan perubahan apapun itu, tapi bung fakta kondisiku itu memang mampu memaksaku ditambah oportunisku itu, jadilah aku kini wartawan lepas yang sedikit berduit, hamper tak membujang, dan ada sedikit keberanian bermimpi. 
Wartawan sama sekali bukan bidangku, aku hanya kebetulan saja menjadi wartawan untuk membantu rekanku yang merupakan wartawan tetap, kesibukannya dan selalu dikejar deadline membuatnya merogoh kocek agak dalam dua bulan lalu. Demi sebuah kamera butut yang dibelinya di Jatinegara yang menurutnya masih keren, padahal hancur bukan main, blitznya sudah pecah, dan tombol penjepret agak longgar, dan temanku yang begitu pengertian padaku itu memeberiku pekerjaan sebagai asistennya, dengan kamera butut itu.

Awal kerjaku tak buruk-buruk amat, aku sukses memfoto seorang copet yang tertangkap tangan sedang beraksi. Selanjutnya mengalir begitu saja, aku mulai menikmati pekerjaan ini, kubayar semua hutangku ke bang Madun pemilik warung yang sering kuutangi . wajahnya sumringah menerima beberapa lembar uang lima puluhan ribu, Atik anaknya begitu gembira melihat kertas-kertas  warna biru  berseliweran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar